21/07/10

Review Film "Freedom Writer"

Tak banyak film yang mengangkat tema kekerasan dan konflik antargolongan yang terjadi dalam kehidupan nyata. Namun, film ini berhasil menggambarkan kisah murid-murid yang pernah terlibat dalam konflik dan ketegangan rasial. Kisah itu diambil dari kumpulan catatan harian yang mereka tulis sendiri tentang pengalaman hidup mereka. Kisah itu mengungkap perjalanan hidup murid-murid setelah peristiwa konflik rasial dan pembunuhan besar-besaran yang terjadi di Long Beach, California, pada tahun 1992.

Bermula dari kisah aktor utama, Erin Gruwell, yang menjadi guru baru untuk pelajaran bahasa Inggris di sebuah SMU di Long Beach, dia menemukan adanya pembedaan rasial yang disertai ketegangan dan permusuhan di antara murid-muridnya. Pembedaan itu lalu membentuk geng-geng lokal dalam kehidupan sehari-hari. Awalnya, dia mengalami kesulitan mengajar karena murid-muridnya tak menyukainya. Bukan hanya pada Gruwell, murid-murid memang tak menyukai guru-guru dan pelajaran yang diberikan di sekolah itu. Mereka masuk sekolah karena terpaksa atau dipaksa pemerintah setempat. Bahkan mereka sering membuat kekacauan di dalam kelas. Namun, Gruwell memiliki kegigihan untuk tetap mengajar dan selalu mencari cara supaya murid-murid menyukai pelajaran yang diberikannya.

Bagaimana cara Gruwell mengatasi persoalan yang melanda murid-muridnya? Di sinilah kekuatan cerita dalam film ini. Gruwell tak hanya mencoba teknik pengajaran yang menarik, tapi juga berupaya menelusuri sisi-sisi kehidupan yang membuat murid-muridnya bertingkah seperti itu. Setiap murid menyimpan persoalan hidupnya masing-masing. Persoalan hidup yang sering diabaikan dan terpendam dalam gejolak konflik dan kekerasan. Dengan memberi wawasan tentang para korban Holocaust, Gruwell mampu menarik simpati murid-muridnya untuk menyadari konsekuensi dari meledaknya permusuhan rasial. Dari situlah keberhasilan Gruwell mengajak murid-muridnya untuk mengungkapkan segala persoalan hidupnya melalui tulisan. Sehinga mereka bisa berbagi pengalaman dan tak lagi merasa terasing dalam kehidupan sosial. Di luar sana, banyak korban kekerasan seperti yang mereka alami, bahkan jauh lebih buruk. Ketimbang memperbesar permusuhan, lebih baik menggalang solidaritas untuk melindungi dan membantu para korban kekerasan.

Kumpulan catatan itulah yang kemudian diterbitkan pada tahun 1999. Dari catatan itu pula film ini diproduksi. Karenanya, film ini perlu ditonton untuk memperluas cakrawala pengetahuan kita tentang dunia luar, supaya kita tak hanya berpikir untuk diri sendiri dan akhirnya merasa terasing.

Namun, Banyak mahasiswa yang tidak mengenal salah satu lembaga politik kampus ini, ketidakberfungsian lembaga ini semakin menegaskan kesan mahasiswa yang memandang lembaga ini sebagai lembaga yang tidak begitu penting, bahkan mereka meminta agar lembaga ini untuk segera dibubarkan...

Penulis: Syiqqil Arafat (Direktur COMPOR (Community of Political Reflection)
Note: Tulisan ini dikirim kepada admin melalui e-mail.

0 komentar:

Posting Komentar